INDONESIA: NEGERI YANG BESAR KELAMINDARIPADA KEMALUAN

Oleh: Olav Iban
Pada hakikatnya tidak ada senyum, melainkan seseorang yang tersenyum; tidak ada kebahagiaan, melainkan orang-orang yang berbahagia; tidak ada gigi yang sakit, melainkan ada pribadi yang menderita sakit gigi. Begitu pula dengan demokrasi, tak akan pernah ada yang namanya demokrasi, melainkan terbentuknya masyarakat merdeka atas diri mereka sendiri dan mampu menentukan atas batasan apa mereka merdeka dengan berpandangan sosial untuk kesejahteraan bersama.
Tetapi akankah ada masyarakat yang sedemikiannya, jika 99% kekayaan alam mereka dikuasai orang asing, sementara 1%-nya dimiliki pemerintah yang mempunyai utang hampir Rp 1.800 triliyun. Akankah ada kedaulatan rakyat jika majority rules disebut-sebut sebagai alat demokrasi. Adakah kemerdekaan di negeri oligarkis yang terkesan despotis. Mungkinkah kesejahteraan bersama itu ada jika istilah pluralisme saja tidak pernah masuk ke dalam kategori inteligibilitas masyarakatnya. Maka mulai dari sinilah posisi demokrasi di negeri kita, Indonesia, perlu dipertanyakan ulang.
            Terlepas dari kekuatan alam, sejarah Indonesia dikotori dengan bencana. Di sini kekuatan religius cenderung absolut, kumpulan masyarakat penuh amarah dan dendam masa silam yang tidak pernah hilang, etnosentrisme merebak hingga antarkampung pun saling tusuk. Solusi agamis yang digadang-gadang bersama iman dan takwa serta nilai-nilai religi dianggap mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan, buktinya gagal total.
Kekerasan antaragama masih terjadi. Hak-hak beribadah selalu disunat: pembakaran tempat ibadah; lonceng-lonceng gereja disaingi teriakan adzan; stereotip-stereotip sosial kalau Kristen itu begitu, kalau Islam itu begini, kalau Hindu-Buddha lain lagi, dan lucunya pemerintah melegitimasinya. Permusuhan ini bukan adu domba orang ketiga seperti yang dikoar-koarkan pemerintah. Ini murni kebencian hakiki terhadap perbedaan. Murni tindakan ‘aku-kamu’ ‘kita-mereka’. Lha wong aksi damai forum antarumat beragama saja diserang karena dianggap tidak beragama. Aliran-aliran yang sudah ada sejak zaman Hasyim Ashari masih berguru pada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi tanpa benturan dengan mainstream, sekarang malah dibentur-benturkan. Bahkan diinjak dan diludahi sebagai kafir.
Manusia-manusia tamak pun bermunculan. Mengaku-aku imam, menjunjung silsilah dan kegantengan, lalu kaya raya dengan jual-menjual ayat suci. Belum lagi permasalahan lama yang selalu dikubur: peng-Hindu-an kepercayaan-kepercayaan tradisi di Kalimantan, Sulawesi, Lombok dan Jawa. Mereka yang kecil, mau berteriak apa soal agama ke pembesar-pembesar bangsa ini sementara yang ditanya seolah tak punya agama.
Terkadang memang tidak berlebihan jika kita mencari jalan keluar masalah kenegaraan dengan cara keagamaan. Namun dengan syarat, tingkat pemahaman terhadap agama benar-benar matang dan tidak memakai kacamata kuda mengacuhkan religiusitas liyan. Jika benar dipahami, konsepsi agama bersamaan dengan nilai-nilai di dalamnya lebih dari sanggup ikut urun-rembug menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Oleh sebab itu, benar-benar saja ketika para agamawan bersatu mengeluarkan petisi pada pemerintahan Susilo (SBY). Atau mungkin dalam wacana lebih luas lagi: kaum agamawan bersama budayawan, ekonom, cendikiawan dan politisi mengeluarkan petisi 50 pada era Soeharto.
Mengutip pernyataan Munir, “Islam tidak menyuruh kita memerangi agama lain, tetapi memerangi satu model penindasan dan penciptaan pemiskinan secara tidak sah. Itu saya kira suatu hal penting untuk menjadi landasan Islam: membangun masyarakat dan peradaban”, atau yang demikian, “Ketika saya berani shalat, konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban, sebab saya telah menghadapkan wajahku”.  Dalam Hindu tak perlu diragukan lagi adanya pemahaman yang lebih tinggi mengenai individu dengan dunianya, semisal: Atmanam moksartham jagaddhitaya ca, yang berarti tujuan agama adalah untuk mencapai kelepasan, kebebasan atau kesempurnaan roh (moksa), kesejahteraan umat manusia, kedamaian dan kelestarian dunia (jagaddhita). Dalam Kristen, terdapat ajaran cinta kasih yang dengan mengasihi sesama manusia berarti mengasihi Tuhan sehingga kesejahteraan yang adil antar sesama adalah jalan untuk menyembah-Nya. Lebih-lebih pada agama Buddha, sungguh memalukan jika menyangsikannya bahwa kitab Sutasoma karya Mpu Tantularan yang berisikan kalimat Bhinneka tunggal ika, tana hana dharma mangrowa (Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5) adalah karya sastra bernafaskan ajaran Buddha. Demikian sedikit bukti betapa kuatnya nilai-nilai yang dibawa agama akan menjadi sangat berguna membangun negeri ini, tentunya dengan pemahaman yang benar dan hati yang mulia.

II
            Indonesia adalah negeri penuh dilema. Negeri yang memiliki nilai-nilai religius yang luhur, memiliki kearifan budaya, namun miskin dan sengsara. Sebelum lahirnya Kristus,  jauh sebelum Muhammad, masyarakat negeri ini sudah mampu mengolah garam dan padi. Terkenal kaya akan damar, cengkeh, kayu manis, dan rempah-rempah lainnya. Tetapi lucu, dua ribu tahun kemudian mengimpornya dari negeri-negeri jiran.
            Indonesia yang ancient telah terjebak ke dunia yang civilized. Ketika menerima dan masuk ke dalam civilization, peradaban menurut Barat, artinya siap hidup di dunia yang air saja dijual. Mungkin 10-20 tahun lagi, udara bisa jadi diberi merek dagang. Dunia ini dibentuk dari serangkaian institusi. Dari institusi-institusi politik, hukum, keuangan, bahkan institusi agama merupakan institusi-institusi yang menginstitutkan kelas-kelas sosial, nilai-nilai keluarga, hirarki militeris, sampai spesialisasi keterampilan individu. Dan di sini, kekuatan politik dikendalikan sirkulasi uang. Inilah sebuah kurun di mana manusianya tidak lagi menilai suatu barang berdasar ongkos produksi, melainkan atas kecenderungan pasar.
            Pertengahan tahun 1997, krisis finansial melanda Asia. Ada kisah menarik di masa-masa itu. Badai krisis finansial Asia waktu itu jika ditinjau struktural sebenarnya dipercaya tidak memberi dampak berat bagi Indonesia. Negeri kita memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari US$ 900 juta, cadangan devisa di atas US$ 21 miliar, dan sektor perbankan yang baik. Tetapi keserakahan menghancurkan kekuatan ini. Pada saat itu pemerintah menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate) dengan mendepresiasi rupiah. Kebijakan ini memberi posisi aman kepada rupiah sampai gaung-gaung keserakahan diteriakan. Entah atas pertimbangan apa, yang tentunya dengan perhitungan ekonomi, dan entah untuk keuntungan siapa, pemerintah mengikuti saran IMF menerapkan free-floating exchange rate sebagai ganti. Maka, tiba-tiba saja pada 14 Agustus 1997 perekonomian yang dibangun selama tujuh kali Kabinet Pembangunan dan lima kali Repelita hancur begitu saja, seakan kita kembali ke tahun-tahun 1960an. Rupiah melemah terhadap dolar, terus merosot drastis. Dari yang hanya Rp 2.100-2.300/US$ (1996) melorot menjadi Rp 4.600/US$, bahkan pernah mencapai Rp 15.000-17.000/US$ (1999). Bisa dibayangkan bagaimana imbasnya. Pertama pada pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta ataupun nasional. Utang-utang jatuh tempo mereka tiba-tiba saja meningkat lima kali lipat dan tentu saja tidak ada yang sanggup membayar. Mereka yang pada awalnya hanya meminjam US$ 10 juta dengan kurs Rp 2000/US$ (Rp 20 miliar) harus mengembalikan Rp 1 trilyun. Walau untung dua kali lipat pun, perusahaan itu tak akan sanggup membayar. Tidak berhenti di situ, rakyat jadi kena getahnya, 20 juta orang menjadi pengangguran mendadak.
            IMF hadir tanpa dosa dengan menawarkan pinjaman US$ 43 miliar diikuti perjanjian ekonomi yang dikenal Letter of Intent. Negeri ini sedang kalut, tanpa basa-basi Soeharto menandatanganinya pada 20 Januari 1998.
            Jika kita mengingat sejarah, John Adams pernah mengingatkan, “There are two ways to conquer and enslave a nation. One is by the sword. The other is by debt”. Utang memperbudak Indonesia dengan IMF sebagai tuannya. Letter of Intent yang sudah ditandatangani akhirnya menjelma menjadi kebijakan negara yang kita kenal sebagai GBHN Super. Kebijakan ini tidak dipresentasikan di hadapan DPR/MPR untuk disetujui, ditolak atau diperbaiki.
Tidak perlu disebutkan kesemuanya, salah satu isi GBHN Super tersebut adalah: Pemerintah akan mencabut larangan investasi asing di perkebunan sawit mulai 1 Februari 1998. Larangan investasi asing di bidang eceran dan pedagang grosis akan dihapus sebelum Maret 1998 (Reformasi Struktural, poin 5-6). Dengan dilaksanakan kebijakan ini, maka hadirlah ‘yang terhormat’ Carrefour (Prancis), Superindo (Belgia), sampai Indomaret (Indofood Group yang 50%-nya milik CAB Holdings dari Amerika) atau Alfamart (70% saham milik PT. HM Sampoerna yang adalah milik Philip Morris - Amerika) yang menghancurkan pasar tradisional dan toko-toko klontong. Ingat, ini hanya imbas dari satu-dua poin dari Letter of Intent tersebut, belum masalah perjanjian penebangan hutan, perkebunan sawit, pertanahan, ataupun perbankan.

III
Saya tidak pernah yakin bangsa ini remuk karena permasalahan ekonomi, atau karena korupsi dan haus harta. Permasalahannya terlalu rumit, sampai mahasiswa-mahasiswa bersemangat baja saja seolah tidak bisa apa-apa membenahi bangsa ini selain dengan duduk diskusi dan melakukan aksi-aksi anarki, agar minimal argumen mereka masuk TV dan sampai di telinga ‘wakil’ mereka di Senayan. Itu pun cuma segelintir mahasiswa, sisanya hidup gaul, foya-foya dan bahagia seakan tidak terjadi apa-apa.
Demonstrasi sebenarnya hal yang lucu, masak rakyat itu harus demo. Berteriak-teriak di depan DPR atau kantor Walikota atau kantor Pemerintah, padahal yang mereka teriaki adalah bawahan rakyat kesemuanya, digaji rakyat. Kekuatan terorganisir yang ada karena permintaan rakyat: Mas, kowe tak pilih yo, ngewakili aku. Ngewakili desomu dewe, kampungmu dewe, majuo ben ora kakehan wong sing nyangkem.
‘Bawahan-bawahan’ itu dipilih sehingga nantinya ketika mereka dikumpulkan hasilnya adalah satuan wakil-wakil dari tiap daerah, satu kesatuan kecil. Perasan dari ratusan juta masyarakat Indonesia menjadi 560 orang saja. Menjadi parlemen sebagai suara Indonesia. Tetapi apa buktinya? Hanya kumpulan pecundang parlente, terkadang selebritis, yang dibayar tinggi dari urunan rakyat. Walau tentu ada satu-dua yang benar-benar tahu diri, namun lihat saja lahan parkir gedung DPR/MPR, pameran mobil mewah: dan bodohnya, mereka malah bangga.
Kemorat-maritan bangsa ini menurut ramalan Jayabaya datang dengan ditandai seperti: banyak orang yang saling menuduh, menyiarkan ilmu dari yang satu kepada yang lain, si pemberani mendapat tamparan, yang berlagak akan merangkak, siapa yang cerdas akan disambar, si kecil digencet, yang besar pangkatnya diejek, kaum buruh segan bekerja, si miskin makin sengsara, si penimbun kehilangan, yang nekat kasrakat, si butuh mengeluh, si rajin jatuh, yang timbul terpenggal, si gila diikat, si pengejek dijerat rantai, tukang serobot mendapat pukulan, si serakah mendapat hukuman yang setimpal, yang bersikap masa bodoh tercegah, yang berlagak mendapat cacat, siapa kikir pusing kepalanya. Intinya, di Indonesia terjadi kekacauan sosial dan semua kalangan mendapat akibatnya, yang kaya tidak tenang, yang miskin hidup telanjang; yang pintar dibodoh-bodohkan, yang bodoh dihina-hina.
 Di negeri ini kelamin berstatus lebih tinggi ketimbang kemaluan. Hasrat serta nafsu dilebih-lebihkan sepuasnya daripada akal dan kecerdasan berpikir. Saya beri contoh: Sedang ada pertandingan sepak bola di TV antara timnas melawan Prancis. Si A kebetulan lewat dan berkata, “Indonesia main ya? Halah, paling-paling kalah”. Kemudian si B juga lewat dan komentar, “Ayo Indonesia! Kita pasti bisa! AYO AYO!”. Si C yang sedang menonton ikut menyahut, “Kita? Kita ndasmu! Kowe mung melu bengok-bengok”. Pembicaraan tadi mewakili karakter masyarakat Indonesia yang mendahulukan buah pelirnya ketimbang pemikirannya. Jelas mereka berbeda, si A yang apatis, si B yang psedo-fanatis, dan si C yang realis. Kecuali mereka yang disebut suporter, kesemuanya dari ketiga karakter di atas tidak benar-benar memahami bagaimana hadir dan diakui menjadi atlet bangsa, yang setiap detik bisa dipuja ganti dihina, menjadi orang-orang yang turun langsung dengan keringat membela bangsa. Mereka manifestasi manusia instan yang paling cuma bisa menggerutu sambil bersorak di waktu bersamaan, tidak lebih. Ini salah satu contoh komposisi otak dan kelamin yang tidak seimbang. Terlalu bersemangat tapi tak mengerti apa yang disemangati. Orang seperti ini sering lupa untuk ikut berpartisipasi bagaimana membangun sesuatu menjadi lebih baik. Semisal membangun satu PSSI yang utuh: yang tahu memisahkan manejerial dan produksi; yang tahu keinginan pemain, bukan keinginan pemodal; yang bisa menyejukan hati suporter, bukan sirkulasi uang tiap pertandingan.
Perlu diingat, terutama bagi kita yang hanya bisa bersorak-sorak sebagai bukan atlet bukan suporter, di Iraq tahun 1980-1990an, ketika itu ketua Komite Olahraga Iraq dipimpin oleh Uday Saddam Hussein. Banyak atlet Iraq disiksa seperti binatang hanya karena gagal di pertandingan. Pemain timnas mereka dipaksa menendang beton di penjara negara karena gagal di Piala Dunia ’94. Atlet lainnya diseret di atas kerikil lalu direndam di kolam limbah hingga lukanya infeksi. Saat kekalahan melawan Jepang di AFC 2000, tiga pemain timnas disiksa tiga hari dalam penjara.
Berkaca kejadian di atas, sungguh betapa masih beruntungnya Indonesia mengingat ‘pemimpin’ negeri ini masih pengecut, walau status pemerintahannya berpredikat buruk dalam pelanggaran HAM. Tak perlu menjauh mengingat-ingat masa Orla ataupun Orba, di masa Gus Dur yang terkenal pluralis sejati terjadi kekacauan besar-besaran di Kalimantan. Perang adat antar etnis Dayak dengan Madura akibat kecemburuan sosial dan ketidakharmonisan komunikasi budaya. Ratusan orang tewas, ribuan lagi dipulangkan ke Madura dan perekonomian daerah sempat berhenti, disertai ketakutan di mana-mana. Kerusuhan antaragama di Maluku pada hari pertama Lebaran 1999 juga sama mengerikannya, masjid dan gereja luluh lantak disertai korban jiwa yang jumlahnya setelah satu dekade masih simpang siur. Di Papua, serangan-serangan dari warga setempat kepada TNI/POLRI bertubi-tubi sebagai unjuk ketidakpuasan mereka terhadap keadaannya. Di Jakarta, kerusuhan Semanggi yang membunuh empat mahasiswa berimbas kekacauan melanda ibukota di bulan November 1998.  Di Aceh, penembakan misterius yang berkali-kali menewaskan pegawai-pegawai asing perusahaan Exxon Mobil. Belum lagi pelanggaran HAM berat seperti di Timor Timur atau terhadap etnis Cina pada akhir rezim Orba.
Yang terbaru adalah di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan. Di TV, seorang ibu setengah baya sambil tersedu-sedu berkata dengan miris, “Kami ini warga negara Indonesia, ini tanah kami. Lain kalau kami warga negara asing. Kami bisa saja lari dari Indonesia. Apa tidak malu bapak Presiden melihat warganya seperti ini?”. Pemberitaan ini begitu luas, jelas tidak mungkin para pemimpin negara tidak mendengarnya. Mungkin jika berhak menjawab, saya akan berkata kepada ibu tersebut, “Pemimpin-pemimpin kita malu kok, Bu. Cuman kemaluannya kalah besar sama kelaminnya. Mereka lebih mementingkan nafsu bergelimpangan harta dengan masuknya perusahaan-perusaahan sawit ketimbang mengurus rakyat miskin tidak produktif buat mereka seperti Anda”.
Hal serupa tidak hanya di Sumatera. Di Kalimantan, Papua, Sulawesi, biodiversitas hutan digantikan dengan jenis pohon kelapa sawit yang adalah bahan pokok untuk sabun, sampo, kosmetik,  menerkam jutaan hektar tanah setempat sekaligus membantai ekosistem. Perkara tanah adalah wilayah politik yang sensitif. Kepentingan rakyat dibenturkan dengan kehendak pemodal sekaligus nafsu ‘ingin kaya’ pejabat daerah. Lihat saja bagaimana masalah ganti rugi lahan ketika tanah rakyat hanya dipatok Rp 5000/meter2. Jelas rakyat menderita dan marah. Harga tanah tidak dihitung secara adil. Semestinya tanah rakyat (kalaupun setuju menjual) dihargai dengan nilai masa depannya, future value. Seberapa tinggi nilai tanah mereka di masa depan jika pembelinya akan mendirikan real estate di tanah itu? Rp. 5000/meter2 saja kah? Di mana posisi pemerintah kita? Bukan sebagai pelindung, seperti yang dikatakan UUD, namun sebagai penerima tamu yang mendapat uang saku bagi perusahaan-perusahaan multi nasional seperti Chevron, Freeport, Exxon, dll.
IV
Cita-cita Indonesia berdasar apa yang dirumuskan dalam Pancasila dan UUD’45 adalah: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan sebagai awal, sesuai dengan fungsinya, hanya sebagai pengantar ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Salah satu contohnya terdapat di UUD’45 pasal 33 butir 3 yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Cita-cita negeri ini adalah menjadi sebuah negara kesejahteraan yang mengedepankan kemakmuran rakyatnya. Mencita-citakan Universalist Welfare State, yaitu rezim kesejahteraan sosial demokrat dengan jaminan sosial universal dan tingkat dekomodifikasi yang ekstentif seperti Norwegia, Denmark dan Finlandia. Kita tidak pernah berkeinginan memajukan petani Thailand atau Kamboja demi beras-beras mereka di atas kesejahteraan petani kita sendiri.
Menurut Soekarno pada pidato pembukaan Sidang Pengurus Besar Front Nasional, cita-cita Indonesia adalah menjadi suatu masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homee. Suatu masyarakat yang tiap-tiap masyarakat Indonesia merasa bahagia. Suatu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis oleh karena tidak bisa membeli susu bagi anaknya. Suatu masyarakat yang tiap-tiap orang bisa menjadi cerdas.
Indonesia mencita-citakan hirarki kehidupan yang memadukan kekuatan-kekuatan kita sendiri dengan kekuatan dunia luar tanpa perlu dibenturkan. Tatanan yang kolektif, bukan komunal; yang sadar, bukan dipaksakan. Tatanan yang menjunjung nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, kesetaraan, kesejahteraan, kebebasan dan solidaritas terhadap yang ditindas hegemoni maupun dominasi. Negeri ini mencita-citakan paham sosialisme baru yang membawa pembaharuan bagi Moskow dan Beijing, suatu paham sosialisme yang menentang kediktaktoran kelas, tetapi tetap menghargai dan mengakui sistem kasta dalam tradisi. Tetap menunduk jika lewat di depan orang tua, juga meredah di hadapan raja. Suatu paham ideal bagi negeri seperti Indonesia, yang tidak menganggap feodal dan monarki sebagai musuh, namun sebagai legacy cultural yang menjadi identitas bersama. Tidak benar jika kita berpandangan hitam putih pada hal seperti ini. Dengan begini, simbol-simbol monarki dipertahankan sebagai manifestasi kehadiran leluhur masa lalu di masa sekarang, sehingga kita tak perlu memakai identitas kosmetik: kepura-puraan belaka, memakai identitas budaya asing.
Paham sosialisme ke-Indonesia-an tidak berkeinginan memodernkan rakyatnya tetapi menyadarkan kehadiran sesama. Kita perlu memahami dengan cara lain mengenai definisi civilization, bahwa peradaban bukan berarti berdasi, pantalon dan sepatu kulit. Beradab (al-adab, bahasa arab dari sopan santun/budi pekerti) adalah sadar budaya, mengakui keberadaan diri sendiri di tengah-tengah sosial, mengenali pagar-pagar budaya, memahami masa silam dalam adat istiadat. Apalah gunanya memuja nomor antrian tapi tidak mendahulukan nenek-nenek tua hanya karena si nenek lebih lambat datangnya. Kita bukan bangsa yang sok rasional, menolak hal-hal magis dengan menyebutnya metafisik. Kita harus akui, kita adalah bangsa masa lalu yang tiba-tiba merdeka membuka mata melihat apa saja, termasuk kecanggihan masa depan. Kita harus perlahan-lahan sadar dan paham posisi kita di semesta ini.
Untuk sampai pada cita-cita tersebut membutuhkan satu masyarakat yang dewasa (satu, bukan terpecah-pecah dua atau lebih). Dewasa dalam infrastruktur, struktur dan suprastruktur. Tentu terlebih dahulu dibutuhkan ikatan bersama sehingga menjadikan berbagai etnis, agama, kelompok dan ideologi menjadi satu. Untuk menjadi masyarakat yang paham diperlukan individu-individu yang berjiwa merdeka.
Walau banyak yang menyayangkan, keputusan memilih merdeka segera selepas kekalahan Jepang dari Sekutu adalah jalan pertama meraih ikatan massal tersebut. Perlu diketahui, pada masa itu sesungguhnya hanya kurang dari sepertiga masyarakat Hindia Belanda yang memilih merdeka. Rakyat lebih percaya tangan Belanda daripada tangan pemuda bangsa untuk bangkit dari masa kritis pascapendudukan Jepang. Di golongan elite sendiri terpecah pilihan antara mana yang lebih dahulu dilaksanakan: revolusi nasional, revolusi sosial, atau revolusi mental.
Bagi beberapa tokoh yang berpandangan jauh ke depan, mereka percaya dengan revolusi mental didahulukan, mencerdaskan masyarakat di segala strata, membawa kaum muda belajar ke Belanda, dan kemudian memiliki jiwa/mental kebebasan adalah jalan yang lebih tepat ketimbang terburu-buru merdeka. Revolusi mental diandaikan sebagai suatu perubahan sikap, nilai dan falsafah sosial guna menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman agar meraih kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Para tokoh itu mungkin berpikiran pemerintahan baru yang lepas dari pemerintahan sebelumnya, dengan membawahi ratusan etnis dan bahasa akan mudah terpercik api jika mental masyarakatnya belum kokoh terbangun menjadi masyarakat yang dewasa. Lima puluh tiga tahun kemudian, kekhawatiran mereka terbukti.
V
Negeri dengan rakyat pengecut membutuhkan pemimpin penakluk. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menaklukan hati rakyat bukan dengan menyebarkan ketakutan, melainkan dengan penawaran kesejahteraan, jaminan, serta keterlaksanaannya. Selepas masa Orba, penawaran kesejahteraan kepada rakyat sangat membeludak. Berbagai media dipakai hingga pohon-pohon di jalur hijau batangnya berlumuran lem demi jargon-jargon politik mereka. Tetapi sayangnya, jaminan dan keterlaksanaan dari apa yang mereka tawarkan tak kunjung terbukti walau sudah satu dekade lebih reformasi berjalan.
Walau sudah memberi empat presiden sepanjang reformasi, rakyat Indonesia masih merasakan krisis kepemimpinan. Krisis ini terjadi karena dua hal mendasar, yaitu (1) Apa yang diinginkan rakyat tidak sesuai dengan yang dihadapi, tidak ada keadilan dalam artian keseimbangan antara das sein (senyatanya) dan das sollen (seharusnya); dan (2) Ketidakmampuan pemimpin menyamakan pemahamannya dengan pemahaman rakyat. Bagaimanapun juga pemimpin harus mampu membaca rumusan hukum-hukum yang ada di balik sosial yang dipimpinnya. Pemimpin adalah simbol, yaitu something stand for something else, yang memiliki makna sesuai kehendak pemakainya.
Seorang pemimpin yang mampu memaknai dirinya sebagai simbol, akan tahu yang dibutuhkan adalah fusi antara dirinya dengan rakyatnya, sekaligus menghindari defusi. Fusi bukan berarti percampuran atau asimilasi atau apapun itu. Fusi diartikan sebagai penyatuan yang tidak mereduksi apapun dari kedua hal yang disatukan. Maka dengan demikian akan mampu menghadirkan keadaan ideal bagi kedua pihak. Tetapi sebelum jauh melakukan suatu tindakan fusi, rakyat harus memilih pemimpin mana yang tepat untuk ber-fusi.
Mutu seorang pemimpin dapat dilihat dari dua hal, yakni dari gagasan dan aksinya. Bentuk materil dari gagasan, yang dapat terlihat kasat mata, adalah bahasa. Pilihan kata di saat-saat impulsif, yang lahir tiba-tiba, adalah contoh yang paling pas. Pilihan kata dan rangkaiannya dapat menunjukan seberapa cerdas pribadi itu berpikir, sehingga memperlihatkan level substansi gagasan di otaknya. Contoh sederhananya adalah dengan melihat seberapa tinggi bahasa metafora yang dipakai. Pemahaman seseorang tentang metafora dapat menunjukan bagaimana pikiran pararelnya bekerja memaknai jentik kehidupan dan menemukan kesamaan dengan kenyataan di depan matanya. Soekarno adalah contoh yang sempurna. Metafora-metaforanya seperti: “Seperti rotan, saya hanya melengkun tapi tidak patah”, atau “Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian”, atau “Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”. Bandingkan dengan metafora à la Megawati yang sederhana, kalau tidak bisa dibilang dangkal: “Sudah meledak-meleduk, kok baru sosialisasi”, atau “Sudah diam mulut saya selama ini tapi lama-lama tidak tahan juga. Mengurusi gas saja kok susah ya? Tiap hari ada yang bledos.”
Sementara pada soal ekspresi aksi, saya beri contoh antara Susilo dan Sjahrir. Aksi/tindakan politis Susilo yang kala itu seolah-olah ikut terlibat merasakan sepenanggungan, sama-sama menjadi korban, yaitu dengan menunjukan foto-foto latihan teroris yang menjadikan wajahnya sebagai sasaran tembak. Ekspresi Susilo begitu muram, terkesan tidak intelek, dan seolah tidak mau disalahkan. Padahal ketika itu Indonesia sedang dilanda demam terorisme dan membutuhkan sosok pemimpin yang melindungi.
Bandingkan dengan aksi/tindakan politis Sjahrir yang cerdik, menarik sekaligus menggelikan. Panjang akal mempermainkan kondisi yang sedang kelam, dan menunjukan selera humor yang baik. Adalah kisah ketika intervensi Belanda (1946) lewat propagandanya menyatakan rakyat Indonesia menderita kelaparan. Kurun itu kekuatan militer Belanda memblokade pulau Jawa dan Madura. Dengan cerdik, Sjahrir mematahkan muslihat ini. Ia menawarkan beras kepada rakyat India yang sedang mengalami bencana kelaparan, asalkan ada kapal yang datang mengambilnya di Jawa. Otomatis India yang waktu itu di bawah kekuasaan Inggris mengirimkan kapal menembus blokade Belanda. Siasat ini mematahkan opini dunia atas propaganda kelaparan sekaligus membuka blokade oleh Belanda. Walau tentu kedua contoh yang diangkat dan dibanding tidak merepresentasikan keseluruhan mutu pribadi tersebut, namun ada baiknya kita melihat perbedaan jelas mana hitam dan mana putih dengan contoh tadi.
Pola pemahaman tingkat tinggi, pikiran cerdas, berpengetahuan luas, dan pergaulan lugas, serta selera humor yang berkelas adalah ciri-ciri pemimpin yang bagus. Pemimpin yang tidak hidup mewah dan bukan jenis pemalas. Pemimpin sejenis inilah yang diperlukan untuk membangun Indonesia yang kuat di kabut tebal masa depan dunia yang semakin suram, dengan demokrasi sebagai jalan dan sosialisme sebagai lentera sehingga tercapailah negeri kesejahteraan yang dicita-citakan. Jika kita mempercayai jalan demokrasi, tetapi buta karena tidak punya lentera, kita hanya bergerak tanpa arah tujuan. Seperti perkataan filsuf Prancis, Jean Jacques Rousseau ketika mengomentari kejatuhan Romawi, “Demokrasi itu ibarat buah, sangat baik buat pencernaan. Tetapi hanya lambung yang sehat yang mempu menerimanya”. Kita sebagai negara memiliki instrumen politik modern yang lengkap. Kita punya banyak partai, kita punya dewan rakyat/parlemen, kita punya mahkamah konstitusi, kita punya lembaga kepresidenan, kita punya kabinet, kita pun melaksanakan pemilihan umum yang bebas jujur adil. Tetapi kita gagal memiliki pribadi yang sehat yang mampu memainkan instrumen-instrumen ini dengan sempurna.
Demokrasi sampai kapanpun hanyalah sebuah alat, media, jalan beraspal, dan jelas-jelas bukan sebuah tujuan. Negeri ini dibangun tidak dengan cita-cita menjadi demokrasi, yang menjadikan rakyatnya berkuasa. Cita-cita negeri ini adalah menjadi negara yang rakyatnya berdaulat dengan demokrasi sebagai way of life.
VI
Kita tidak boleh dan tidak akan bisa menyangkal bahwa kita adalah ras yang melahirkan kata dan cerita. Kita memproduksi banyak budaya daripada yang mampu kita cerna. Kita adalah bangsa yang besar berharap, kecil bertindak; banyak mimpi, minim diskusi; besar kelamin, kecil kemaluan. Maka itu jangan hendaknya dilupakan wejangan pujangga Ronggowarsito dalam suratnya Djoko Lodang, “Djoko Lodang nabda malih, nanging ana marmanipun ing weca kang wus pinasti, estinen murih kalakon! ... Tinemune wong ngantuk anemu ketuk, malenuk samargi-margi, mulane bungah kang nemu, margo jeroning ketik isi, kancana sosotya abyor”. Artinya (kurang lebih), “Tetapi, lanjut Djoko Lodang, setelah zaman prihatin itu berakhir, maka pasti datang zaman keemasan, zaman yang gilang gemilang, dan pesanku: Usahakanlah terlaksana! ... Orang yang mengantuk di sepanjang jalan akan girang menemukan ketuk (nama salah satu bagian gamelan Jawa), yang berisikan permata berkilau-kilauan.
Ingat bahaya sudah di depan mata. Masyarakat sudah tidak lagi percaya pemerintahnya, kesemua pergumulan diselesaikan dengan cara-cara civilized negatif. Polisi menjadi bagian dari penguasa, fenomena masyarakat merasa tidak aman jika di dekat polisi. Komisi Pemberantas Korupsi malah dihakimi. Rakyat ditindas, rumah-rumah digusur, pekerjaan hanya untuk golongan tertentu. Pabrik-pabrik multi nasional dibangun, sawah-sawah rakyat dijajah. Bahkan sawah ladang yang tersisa hasil panennya tidak diakui pemerintah yang lebih percaya beras/gula impor dengan alasan ketahanan pangan.
Bang bang tut, pepaya kolang-kaling. Bambang dan Tutut, bapaknya raja maling. Masih ingat syair itu? Yang diteriakan berulang-ulang oleh mahasiswa yang marah. Saya takut ini berkumandang lagi dengan gubahan kata dan tujuan pelampiasannya.
Rakyat terlalu banyak dikorbankan. Mereka lari ke luar negeri untuk mencari uang kena batunya disiksa majikan. Pemerintah tidak bisa dan tidak mau berbuat apa-apa. Pers sebagai media juga sudah beralih fungsi demi kepentingan pemodal. Kaum intelektual diacuhkan, kaum agamawan dihiraukan, sampai-sampai mahasiswa bakar diri di depan istana negara hanya menjadi bahan tontonan komersial (sekaligus dihina oleh sesamanya mahasiswa, tentu yang menghina lebih bodoh derajatnya). Pembela kemanusiaan dihabisi, orang utan pun juga. Apa yang ada dan sedang berlangsung sebagai bentuk penyengsaraan rakyat adalah gejala untuk kita waspadai akan terjadinya eruption kemarahan rakyat terhadap pemerintahnya sendiri.
Dua-tiga tahun lagi (2013-2015), bayang-bayang kekacauan massal itu akan terlihat semakin tegas mengingat Pemilu akan dilaksanakan berbarengan dengan kegerahan rakyat yang semakin memuncak. Kita tidak mengharapkan itu terjadi. Tentu kita menginginkan suatu sanctum sanctorum tranquilis in undus, yaitu suatu pulau maha keramat, aman, tenang, tentram, di tengah-tengah gelombang. Kita sama-sama ingin hidup aman tanpa kebencian dan permusuhan. Maka dari itu mari bersama-sama sadar dan ikut menyumbangkan perdamaian dengan merubah diri sendiri, memperkecil kelamin dan memperbesar kemaluan.
Syahdan, sebagai penutup saya kutip pidato Perdana Menteri Indonesia pertama, Sutan Sjahrir, ketika dibebaskan dari penculikan di Solo. Ia berkata, “Percayalah bahwa penyelesaian nasib bangsa kita hanya akan ditentukan oleh orang-orang berhati besar, kuat, dan jujur, serta bercita-cita tinggi dan murni.”
***
Yogyakarta, 22 Desember 2011
(Dua hari kemudian terjadi kerusuhan besar di Bima, NTB. Tulisan ini didedikasikan sebagai dukungan bagi mereka.)


http://ugm.academia.edu/OlavIban/Papers/1247971/Indonesia_Negeri_yang_Besar_Kelamin_daripada_Kemaluan
Daftar Pustaka
Agama Kita. Djam’annuri, 2002.
Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Samuel P. Huntington, 2007
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Ishak Rafick, 2008.
Mitos Pribumi Malas. S.H. Alatas, 1988.
Mengenang Sjahrir. Rosihan Anwar, 2010.
Peranan Ramalan Djojobojo dalam Revolusi Kita. Tjantrik Mataram, 1960.
Sosialisme Indonesia. Ruslan Abdulgani, 1961.
Teori Budaya. David Kaplan dan Robert A. Manners, 2002.



Artikel Terkait:

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-ash2/372897_131353430292780_619288642_n.jpg https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-snc4/188096_134547703323278_1162554518_n.jpg https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-snc4/372896_322832097804252_1451457464_n.jpg https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-ash2/188076_323826454312372_464368268_n.jpg https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-snc4/157988_245544635468600_1221856100_n.jpg https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-snc4/157972_225236267569573_1370082627_n.jpg

Baguru On Facebook

 
© Copyright 2010-2011 Baguru All Rights Reserved.
Template Design by Baguru | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.