Shalat shubuhku kali ini ternyata berjalan 1 jam
tanpa merasa lelah! Dan sepanjang shalat aku menangis. Saya yakin, yakin
sekali, Anda juga akan merasakannya. Seperti juga telah dirasakan
banyak orang yang mengikuti petunjuk sederhana ini.
Kemarin
saya ke Gramedia untuk mencari buku-buku kata-kata mutiara dan buku
Marwah Daud yang berjudul HMMD. Buku-buku kata mutiara sudah didapatkan,
buku HMMD nya tidak ada. Sambil melihat-lihat buku best seller, mata
saya menangkap judul yang tengah saya cari. Pelatihan Shalat Khusyu’.
Buku relatif tipis dengan harga lumayan mahal, 50 ribu. Gambarnya orang
sedang sholat di tepi danau, dengan nuansa sampul putih dan biru air.
Ada cetakan emas tulisan “Best Seller” di sampulnya. Penulisnya Abu
Sangkan, nama yang rasanya pernah dengar, entah dimana. Mungkin karena
kata Sangkan Paraning Dumadi (Yang Dianggap -Sumber- Datangnya
Kejadian), adalah sebutan bagi Allah dalam masyarakat Jawa. Ternyata
nama Abu Sangkan karena dia punya anak dinamai Sangkan paraning Wisesa
(sumber datangnya kebijaksanaan -mungkin begitu).
Buku itu saya baca
sehabis Isya’ hingga larut malam. Selesai jam 11 malam. kalimat pertama
yang mengesankan saya adalah komentar Marwah Daud, yang meyakini bahwa
karunia terbesar dalam hidup ini bukanlah kakayaan dan jabatan, tapi
adalah diberi karunia shalat yang khusyu’. Dia yakini ini berdasar surat
Qur’an Surat Al Mukminun 1-2, “Telah beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu’ dalam sholatnya.”
Silahkan
baca sendiri isi dan tipsnya, tulisan ini bukan tentang itu, tapi
tentang pengalaman saya ketika shalat subuh tadi pagi.
Setiap
Ramadhan saya merasa ketinggalan kereta. Demikian pula dengan kereta
I’tikaf 10 hari terakhir. Lagi-lagi luput, tiba-tiba sudah malam ke 22.
Maka saya niatkan untuk tahajud dengan menerapkan metode sederhana
sholat khusyu’.
Gagal.
Saya bangun dengan malas sehingga sahur selesai saat masuk imsak.
Ketika ambil wudlu, ternyata sudah masuk subuh. Akhirnya saya mencoba
menerapkannya pada sholat sunnah sebelum saya ke masjid (baru hari ini
pingin ke masjid, biasanya malas). Niat saya shalat sunnah di rumah,
lalu segera ke masjid.
Gagal
juga! Shalat sunnah saya terlalu lama sehingga (sambil masih shalat)
terdengar masjid sudah memulai shubuhnya. Ya sudah saya lanjutkan terus
sunnah saya. Pelan-pelan. Sambil sangat rileks, seperti tips dalam buku
itu. Subhanallah! Shalat sunnah ini begitu enaknya, hingga lama seperti
seakan shalat wajib. Shalatnya terganggu ketika ponsel berbunyi karena
ada SMS masuk. Bunyi terus-menerus mengingatkan saya bahwa ada message
yang belum dibaca. Duh, kesal rasanya hati harus mempercepat shalat
hanya untuk mematikan handphone.
Lalu
saya mulai shalat shubuh. Dengan sedikit kurang yakin bahwa akan
mendapat kenikmatan seperti shalat sunnah tadi. Saya menyantaikan diri.
Rileks. Satu prinsip utama dalam kiat buku itu adalah, jangan ‘mencari’
khusyu’, cukup siapkan diri untuk ‘menerima’ khusyu’ itu, karena khusyu’
bukan kita ciptakan tapi ‘diberi langsung’ oleh Allah sebagai hadiah
nikmat kita menemuiNya. Tips yang sangat sederhana, tapi ini bagi saya
adalah lompatan paradigma!
Maka
saya bersikap rileks. Kepala hingga pinggang dikendorkan, jatuh laksana
kain basah yang dipegang ujungnya dari atas. Berat badan mengumpul di
kaki yang kemudian serasa keluar akarnya, mengakar ke bumi. Berdiri
santai, senyaman kita berdiri. Abu Sangkan menggambarkan laksana pohon
cemara, meluruh atasnya, kokoh akarnya sehingga luwes tertiup angin
namun tak roboh.
Bersikap rileks menyiapkan diri kita untuk siap ‘menerima’ karunia khusyu’, karena khusyu’ itu diberi bukan kita ciptakan.
Lalu
saya mulai bertakbir, Allahu Akbar. Dan selanjutnya saya baca dengan
pelan-pelan. Karena bacaan shubuh harus diucapkan agak keras, maka saya
rendahkan suara saya. Pelan sesuai tips buku itu, rendah suara karena
-jujur- saya agak malu kalau suara saya terdengar istri saya yang sedang
tiduran. Rasanya seperti baru belajar sholat lagi. Saya berdiri lama,
banyak berhenti kalau memang sedang tidak ingin baca. Saya meresapi
kesendirian dan berusaha menangkap kehadiran Tuhan yang sesungguhnya
amat dekat dengan kita, namun kita tumpul untuk merasakannya. Saya
sedang menemuiNya sekarang. Saya, ruh saya tepatnya. Badan fisik ini
hanyalah alat yang mengantar ruh ini berjumpa kembali dengan yang
dicintainya, ialah Allah yang meniupkan ruh ini dahulu ke dalam badan
fisik.
Break
sebentar. Pernah sholat di belakang imam yang ‘ngebut’ sholatnya? Saya
pernah, dan jujur saya kesal. Baru mau selesai Al Fatihah, eh dia sudah
ruku’. Saya mau ruku’ eh dia sudah berdiri I’tidal. Dan seterusnya. Saya
kesal karena irama kecepatan sholat kami berbeda. Dia - menurut saya-
terlalu cepat.
Ternyata
demikian halnya dengan sholat kita sendiri. Ketika kita sholat, selain
badan fisik kita ini sholat pula ruh kita. Ruh inilah yang benar-benar
ingin sholat -kembali menemui Tuhannya- sementara badan fisik ini sarana
kita mengantarnya dengan gerakan dan bacaan. Ruh kita ini sesungguhnya
ingin sholat dengan tenang, santai, tuma’ninah. Sayangnya badan kita
‘ngebut’, jadilah ruh kita itu jengkel sejengkel-jengkelnya karena
selalu ketinggalan gerakan badan. Maka tips sederhana dari buku itu
adalah jika ruku’, tunggu, tunggu hingga ruh ikut mantap dalam ruku’
itu. Saat I’tidal, tunggu, tunggu hingga ruh mu ikut mantap I’tidal.
Demikian pula saat sujud, duduk antara dua sujud, juga duduk tasyahud.
Tunggu, tunggu hingg ruh mu ikut sujud, ikut duduk, ikut tasyahud.
Berikan
kesempatan ruh kita -sebut saja “aku” yang sejati- untuk mengambil
sikap sholatnya. Dia agak lamban, namun sholat ini utamanya untuk ‘aku”
kita itu, bukan untuk badan fisik kita.
Maka
saya shalat dengan sangat pelan. Santai. kalau sedang malas baca, saya
diam saja. menikmati kepasrahan saya hadir menemui Tuhan. Saya baca
bacaan sholat dengan pelan. Saya mencoba berdialog, dan itulah memang
esensi sholat.
Esensi sholat adalah doa, berdialog dengan Allah secara langsung.
Kita
sebenarnya diberi kesempatan untuk mengadu. Kita adukan semua persoalan
kita kepada Allah. Kita adukan semua kebingungan kita, pekerjaan,
rizki, kesehatan, cinta, dan semua apapun. Kita mengadu, dan kita pasrah
menunggu dijawab. Dan pasti Allah menjawabnya langsung. Ruh bisa
merasakannya, namun kalau dia dipaksa tertinggal-tinggal oleh gerakan
badan, maka dia tidak sempat menikmati pertemuan dengan Allah itu.
Saat
ruku’ saya ruku’ lama, sambil menarik regang kaki dan punggung saya.
Nikmati saja seperti menikmati peregangan bila senam. Saat sujud, saya
tumpukan kepala sebagai tumpuan utama. Nikmat rasanya ‘terpijat’ dahi
ini oleh gerak sujud. Saat ruh telah ikut sujud, saya baca dengan
penghayatan, “Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdih” (Maha Suci Engkau
yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji). Rasanya nikmat sekali sujud lama.
Lalu,
lalu saya duduk setelah sujud. Saya baca sepotong-sepotong bacaannya,
sesuai tips buku itu. Robbighfirlii (Ya Tuhan ampunilah aku). Lalu saya
diam. Tiba-tiba keluar sendiri air mata, saya menangis karena menyadari
betapa dalam makna kalimat pengaduan ini. Kita minta secara langsung
untuk dimaafkan . Ruh kita meminta secara langsung, dan Allah
menjawabnya. Saya menangis. Ruh saya, kita yang sejati, menangis. War
hamnii (dan sayangilah aku), air mata itupun tumpah. Wajburnii. Diam.
War fa’nii. Diam. Saya tak terlalu yakin arti yang saya baca. Tapi saya
makin menangis. Warzuqnii (beri rizki padaku -Ya Allah), air mata saya
tumpah, betul-betul saya tiba-tiba sadar bahwa selama ini saya
mengejar-ngejar rizki tapi tidak serius mengakui itu dariNya, lalu saat
ini saya sedang memintanya langsung! Wahdinii (tunjukilah aku -karena
aku sedang bingung dan tak tahu). Diam, saya menangis. Wa’aafinii (dan
sehatkan aku -aku yang sedang sakit pilek). Wa’fuannii (dan maafkan aku-
yang banyak dosa ini). Saya duduk lama sekali. Sambil mengusap air mata
yang bercucuran.
Shalat
shubuh dua rakaat ini panjang. Ditutup dengan tasyahud yang
menggetarkan. Apalagi ketika membaca “Assalaamu’alainaa wa ‘alaa
ibaadillahisshoolihiin” (keselamatan mohon dikaruniakan kepada kami
-para ruh yang sedang menemuiMu- dan atas ruh-ruh ahli-ahli ibadah yang
sholih). Saya menangis terus-menerus, sehingga berulang kali mengusap
lendir yang keluar dari hidung.
Setelah
shalat, sesuai dengan tips buku itu, saya mulai berdoa dengan meratap.
Saya ucapkan hanya, “Ya Allah… Ya Allah… Ya Allah…”, sambil mengangkat
tangan setinggi wajah seperti seorang pengemis yang meminta-minta.
Berkali-kali, hingga hati saya siap berdoa. Saya ingat buku Al
Ghazali dulu saya baca, sekitar 15 tahun lalu, yang berjudul Rahasia
Shalat. Salah satu poin yang saya ingat adalah, kalau kita ingin dekat
Allah maka kita harus sungguh-sungguh memanggilnya laksana seorang anak
kecil yang ketakutan karena ada ular atau bahya, lalu memanggil-manggil
ayahnya, “Ayah… Ayah… Ayah…”, maka ayahnya pasti datang dengan seruan
itu dan melindungi anak tersebut. Demikianlah kalau kita ingin bebas
dari maksiat, kata Al Ghazali, maka kita harus panggil dengan
betul-betul ketakutan akan maksiat tersebut, kita panggil pelindung kita
dengan sungguh-sungguh seakan anak kecil memanggil-manggil ayahnya,
maka akan dilindungi kita dari maksiat tersebut.
Lalu
saya berdoa, dengan masih terus menangis. Saya merasa mengadu dan masih
mengadu di depan Tuhan secara langsung. Saya mengikhlaskan apapun
jawaban dari doa saya tersebut.
Saya bahagia bisa merasakan sholat seperti itu. Tidak akan tergantikan dengan uang dan kemewahan dunia lainnya.
Sungguh
pengalaman yang menakjubkan. Cerita berhalaman-halaman tidak akan mampu
melukiskan hal itu. Silahkan coba sendiri, rasakan sendiri, menagislah
mengadu kepada Allah sendiri. Saya cuman mau berbagi cerita, dengan
kekahwatiran saya kehilangan rasa yang sama di sholat berikutnya (insya
Allah mudah-mudahan tidak akan hilang).
Problem
yang sekarang muncul, tampaknya akan sulit lagi saya menikmati sholat
kilat, di belakang imam yang irama sholatnya lebih cepat dari saya.
Apakah saya perlu sholat sendiri dulu beberapa waktu ini?