DALAM Al-Qur’an kata khusyu’ didapati dalam banyak ayat dalam bentuk kata dan makna yang berbeda. Meskipun mayoritas tunjukannya kepada manusia, namun ada juga sebagian ayat yang menyatakan khusyu’ berlaku juga untuk benda-benda lain, seperti gunung dan bumi.
Berdasarkan informasi ayat-ayat Al-Qur’an itu, didapati bermacam-macam pengertian khusyu yang intinya tetap mengacu kepada ”merendahkan diri”.
Variasinya pengertian khusyu’ itu menunjukkan, sifat khusyu’ tidak hanya berlaku dalam satu konteks ibadah, seperti shalat, tapi bisa meluas kepada berbagai aspek yang berhubungan dengan ibadah dan non-ibadah.
Dengan demikian, sifat khusyu’ adalah sifat atau sikap yang melekat pada diri seseorang, kapan dan di mana saja, dan tidak hanya dalam konteks ibadah. Berikut ini ragam pengertian khusyu’ dalam Al-Quran:
- Merendahkan suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah (QS. Thaha:108).
- Tandus, yaitu bumi yang kering tandus (QS. Fushilat:39).
- Tunduk karena merasa hina –orang-orang kafir yang digiring ke dalam neraka (QS. Asy-Syura:45)
- Tunduknya hati lantaran mengingat Tuhan dan kebenaran yang diturunkan-Nya (QS. Al-Hadid:16).
- Tunduk disebabkan takut kepada Allah (QS. Al-Hasyar:21).
Dalam konteks lahiriyah misalnya gersangnya bumi dan lesunya wajah orang-orang kafir. Yang bersifat batiniyah berhubungan dengan masalah hati yang tunduk ketika mengingat Allah SWT.
Dengan demikian, pengertian khusyu’ ialah ”rendahnya hati kepada Allah dan kebaikan perilaku kepada sesama makhluk”.
Penyebab utama sikap khusyu’ dalam pengertian merendahkan diri dan tunduk di hadapan Allah SWT ditegaskan dalam QS Al-Baqarah:45-46, yaitu keyakinan akan menemui Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan amalan selama di dunia.
Dalam QS. Ali Imran:199 dijelaskan, syarat untuk menggapai tingkat khusyu’ ialah tidak memperjualbelikan ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah. Maksudnya, tidak memanipulasi ayat-ayat Quran untuk kepentingan duniawi, misalnya kepentingan politik dan ekonomi.
Syarat lainnya adalah bersegera mengerjakan kebaikan (QS. Al-Anbiya’:90). Dalam hal kebaikan, orang khusyu’ tidak pernah menunda-nundanya dan senantiasa merasa terpanggil untuk melakukannya, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah.
Adanya ”persyaratan” tersebut, maka khusyu’ tidak akan datang dengan sendirinya, kecuali setelah seseorang dapat memenuhi persyaratan.
Shalat Khusyu’
Al-Quran dan hadits menegaskan pentingnya khusyu’ dalam shalat.
”Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai dalam shalatnya” (QS. Al-Ma’un:4-5).
”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS. Al-Mukminun:1-2).
“Sesungguhnya seorang lelaki selesai menunaikan solat, namun tidak ditulis pahala untuknya melainkan sepersepuluh, sepersembilan, seperlapan, sepertujuh, sepernam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau seperdua” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Hibban).
“Barangkali seorang yang bangun mengerjakan shalat di malam hari, yang didapatinya hanyalah terjaga di malam hari (yakni tidak ada pahala). Dan barangkai seorang yang berpuasa, yang ia dapat dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga” (HR. At-Tabrani, Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah).
Pengertian khusyu’ dalam shalat didefiniskan oleh para sahabat dan ulama sebagai berikut:
- Khusyu’ hati, tidak berpaling ke kanan atau ke kiri (Ali bin Abi Thalib).
- Keadaan di dalam jiwa; tetap (tenang) dan merendah diri segala anggota (Imam al-Qurthubi).
- Hati berkeadaan takut dan mata selalu tunduk –ke tempat sujud. (Imam Zamakhsyari).
- Merendah diri kepada Allah dengan hati dan segala anggotanya (Imam Al-Jurjani).
- Keadaan di hati yang takut, muraqabah –selalu memperhatikan Allah, dan merendah diri kepada kebesaran Allah, yang mempengaruhi segala anggota yang membawa berkeadaan tetap, tenang melakukan shalat, tidak berpaling-paling, lalu menangis dan berdoa (Imam al-Kalbi).
Khusyu’ batin yaitu khusyu’ hati dengan menghadirkan perasaan takut kepada Allah, rendah diri, serta mengharapkan rahmat-Nya.
Khusyu’ lahir yaitu khusyu’ kepala dengan cara menundukkannya, khusyuk mata dengan cara tidak menoleh atau berpaling-paling, khusyuk tangan dengan meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dengan penuh hormat, dan khusyuk dua kaki dengan tegaknya berpijak dan berkeadaan tetap, tidak bergerak. Khusyu’ lahir terbit dari khusyu’ batin.
Salah seorang sahabat Nabi Saw, Abdullah bin ‘Umar, pernah menceritakan sentang shalat para sahabat:
“Bila para sahabat Nabi Saw mengerjakan shalat, mereka memberi perhatian bersungguh-sungguh kepada shalat mereka; mereka menundukkan penglihatan mereka ke tempat-tempat sujud dan menyadari sesungguhnya Allah sedang berhadapan dengan mereka; maka tidaklah mereka berpaling ke kanan dan ke kiri”.
Kiat Shalat Khyusu’
Menurut Imam al-Ghazali, untuk menghadirkan khusyu’ di dalam shalat, ada enam hal yang perlu dilakukan:
1. Hudhur al-Qalbi, menghadirkan hati sepenuhnya untuk shalat; mengabaikan segala hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat.
2. At-Tafahhum, memahami bacaan dan gerakan shalat.
3. At-Ta’dziem, merasakan kebesaran Allah; merasa diri terlalu kerdil di hadapan Allah Swt.
4. Al-Haibah, merasa takjub terhadap keagungan Allah dan takut siksa-Nya.
5. Ar-Raja’, berharap shalat diterima dan diberi pahala oleh Allah.
6. Al-Haya’, merasa malu kepada Allah atas segala kekurangan dan kecacatan diri.
Kian jelas, khusyu’ adalah amalan hati yang juga berpengaruh pada perilaku lahiriah. Ia muncul dari kesadaran akan hadirnya Allah SWT dengan segala kasih sayang dan siksa-Nya, sadar akan kerendahan diri di hadapan-Nya, dan pemahaman atas bacaan dan gerakan shalat. Wallahu a’lam. (Abu Faiz, dari berbagai sumber).*