Penulis M. Adli Abdullah (*
Sebutan negeri Aceh adalah tidak
asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu
propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang
Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak
begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.
Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.
Kita akan menguak tradisi
sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia)
pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi
Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana
orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang
didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah
ini.
Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat
penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur.
Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab
pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh
setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi
keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi
sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun
rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat
pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada
tahun 1092 H (1681M).
Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah
(1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini
menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan.
Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa
Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para
tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).
Utusan
Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka
tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat
tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.
Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Pada tahun 1094 (1683 M) mareka
kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H
(September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar
Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap
menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam
anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di
Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu
dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.
Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).
Baru setelah meninggalnya Syeikh
Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai
kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah
berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang
kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut
sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan
oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang
berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni
suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20
Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).
Menurut sejarah, Ratu tersebut
dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh
memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif
Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif
Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M.
Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah
berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah,
paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh
perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya
tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).
Terkait dengan sumbangan emas
yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi
perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini
tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman
Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada
saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan
oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje,
menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683”
sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam
bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena
Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut
Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.
Ternyata
sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat
dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang
dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits
sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat
dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan
sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut sejarah, sebenarnya
bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya
sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya
lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan
hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta
wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :
- Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
- Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
- Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
- Wakaf Muhammad Abid Asyi,
- Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
- Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
- Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
- Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
- Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
- Rumah Wakaf di Taif,
- Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
- Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
- Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
- Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
- Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
- Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.
Inilah bukti bagaimana generous
antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka
mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka
sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat
Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini
memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi
wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa
tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi
perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal
ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana
semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.
Sebagai bukti bagaimana
kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil
haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5
persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut
adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin
Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin
Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin
Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah
Asyi.
Di Mekkah juga penulis sempat
bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain
seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah
wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang
terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al
Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang
diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah,
Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah,
Samalanga).
Memang pada asalnya 75
persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu
wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh
dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar
negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan
Aceh Darussalam di Asia tenggara.
Menurut peraturan
pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti
rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama
ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara
dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan
penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak
hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk
wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik
mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi
wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi
pengelolaan wakaf di Aceh.
Mekkah Tempo Dulu |
Itulah secuil catatan yang tercecer,
tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya
mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada
rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan
kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah.
Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi,
rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa
ditelusuri hingga hari ini.
Karena itu, saya menduga kuat
bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu,
dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya,
kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan.
Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam
beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah
pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti
otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan).
Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak
dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.
Inilah sekelumit hasil muhibbah
saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan
identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini,
di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang
Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan
di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya
kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari
peradaban dunia.
***
Penulis adalah sejarawan dan pemerhati sejarah Aceh