Nasmiya
Bokova, jurnalis dan wakil pimpinan redaksi majalah Muslimanka terbitan
Bosnia, mengecam Amerika Serikat dan sekutu Baratnya yang tak bereaksi
soal pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar. Sebagai negara yang mengaku
pejuang HAM, sikap AS dan negara Barat tersebut sungguh mengejutkan.
“Mengapa Amerika Serikat langsung mereaksi atas penangkapan atau cederanya sejumlah orang di salah satu negara dunia ketiga. Namun, Amerika Serikat tidak menunjukkan reaksi apapun terhadap tragedi di Myanmar?” Bokova dalam wawancaranya dengan IRNA di Moskow.
Bokova menyatakan sikap Amerika Serikat dan negara-negara Barat itu sungguh mengejutkan. Karena, mereka selalu mengklaim sebagai negara yang memperjuang hak asasi manusia.
”Sangat mengejutkan sekali negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat yang mengklaim sebagai pejuang hak asasi manusia itu tidak mereaksi peristiwa tersebut,” katanya.
Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (OHCHR) menuding pasukan keamanan Myanmar berada di balik upaya penghapusan entis terhadap Muslim Rohingya.
OHCHR mendesak dilakukannya penyelidikan khusus dan independen terhadap dugaan upaya genosida Muslim Rohingya, di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
“Kami menerima aliran informasi dari segala sumber independen, bahwa perilaku diskriminatif dan kesewenang-wenangan oleh militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya,” kata Kepala OHCHR, Navi Pillay, seperti dikutip dari kantor berita Aljazeera dan BBC.
Kata dia, semula militer mengetahui telah terjadi konflik komunal yang melibatkan warga etnis Buddha Arakan dan etnis Muslim Rohingya di bagian utara negara junta militer tersebut.
Tapi, tuding dia, militer yang semestinya menghentikan pertikaian, berujung dengan keterlibatan, bahkan melakukan penghasutan. ”Laporan menunjukkann kewenangan militer telah berubah dengan menjadikan Rohingya sebagai target kekerasan,” ujar dia.
Pillay menyambut baik desakan internasional terhadap Pemerintah Myanmar, agar relawan internasional diberikan akses untuk melakukan pemantauan, dan pengawasan.
Kata dia, tim investigasi PBB yang dikepalai Tomas Ojea Quintana akan terbang ke Rakhine, untuk melakukan pemetaan konflik, 30 Juli sampai 4 Agustus mendatang. ”Penting untuk korban, dan masyarakat di Rakhine agar dapat memberikan kesaksian secara bebas tanpa tekanan,” tegas dia.
Pelaksana Tugas Sosial Politik, dan Budaya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Djumara Supriyadi, di Yangoon, Myanmar mengabarkan kepada Republika, tak kurang dari 700 ribu etnis Muslim Rohingya telah mengungsi, akibat kerusuhan komunal yang menewaskan 78 orang pada 8 – 13 Juni lalu di Rakhine.
“Mengapa Amerika Serikat langsung mereaksi atas penangkapan atau cederanya sejumlah orang di salah satu negara dunia ketiga. Namun, Amerika Serikat tidak menunjukkan reaksi apapun terhadap tragedi di Myanmar?” Bokova dalam wawancaranya dengan IRNA di Moskow.
Bokova menyatakan sikap Amerika Serikat dan negara-negara Barat itu sungguh mengejutkan. Karena, mereka selalu mengklaim sebagai negara yang memperjuang hak asasi manusia.
”Sangat mengejutkan sekali negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat yang mengklaim sebagai pejuang hak asasi manusia itu tidak mereaksi peristiwa tersebut,” katanya.
Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (OHCHR) menuding pasukan keamanan Myanmar berada di balik upaya penghapusan entis terhadap Muslim Rohingya.
OHCHR mendesak dilakukannya penyelidikan khusus dan independen terhadap dugaan upaya genosida Muslim Rohingya, di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
“Kami menerima aliran informasi dari segala sumber independen, bahwa perilaku diskriminatif dan kesewenang-wenangan oleh militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya,” kata Kepala OHCHR, Navi Pillay, seperti dikutip dari kantor berita Aljazeera dan BBC.
Kata dia, semula militer mengetahui telah terjadi konflik komunal yang melibatkan warga etnis Buddha Arakan dan etnis Muslim Rohingya di bagian utara negara junta militer tersebut.
Tapi, tuding dia, militer yang semestinya menghentikan pertikaian, berujung dengan keterlibatan, bahkan melakukan penghasutan. ”Laporan menunjukkann kewenangan militer telah berubah dengan menjadikan Rohingya sebagai target kekerasan,” ujar dia.
Pillay menyambut baik desakan internasional terhadap Pemerintah Myanmar, agar relawan internasional diberikan akses untuk melakukan pemantauan, dan pengawasan.
Kata dia, tim investigasi PBB yang dikepalai Tomas Ojea Quintana akan terbang ke Rakhine, untuk melakukan pemetaan konflik, 30 Juli sampai 4 Agustus mendatang. ”Penting untuk korban, dan masyarakat di Rakhine agar dapat memberikan kesaksian secara bebas tanpa tekanan,” tegas dia.
Pelaksana Tugas Sosial Politik, dan Budaya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Djumara Supriyadi, di Yangoon, Myanmar mengabarkan kepada Republika, tak kurang dari 700 ribu etnis Muslim Rohingya telah mengungsi, akibat kerusuhan komunal yang menewaskan 78 orang pada 8 – 13 Juni lalu di Rakhine.