Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas wilayah 5,8 juta km per segi dan panjang garis pantai 95.181 km, sudah sepatutnya Indonesia memiliki strategi maritim yang baik. Hal tersebut mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan dan pertahanan.
Jika
dipetakan di belahan bumi lain, luas wilayah Nusantara sama dengan
jarak antara Irak hingga Inggris (Timur-Barat) atau Jerman hingga
Aljazair (Utara-Selatan). Letaknya yang seksi, ditopang potensi sumber
daya alam berlimpah, membuat negara-negara yang berkepentingan tergoda
menguasai kekayaan alam bumi khatulistiwa. Tak heran, ancaman dan
gangguan terus menerpa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam mengatasi tantangan tersebut, seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness,
atau kesadaran lingkungan maritim. Hal itu dibutuhkan karena bangsa
Indonesia sekarang tidak lagi memiliki budaya bahari. Sehingga, perlu
dibangun kembali upaya penyadaran. Upaya ini harus sampai pada
penyadaran efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan
maritim merupakan hal vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan
lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan
harga diri bangsa.
Menyadarkan
bahwa laut adalah aspek alamiah yang paling memengaruhi kehidupan
poleksosbudhankam nasional merupakan isu yang paling utama dan menarik
perhatian. Di sini pemerintah harus menjadi ujung tombak, dan untuk itu
pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam
rangka pemanfaatan laut bagi kemakmuran bangsa, sekaligus untuk
mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, yang tujuan akhirnya
penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.
Aspek Sosial dan Budaya
Dari
aspek kehidupan sosial dan budaya, sejarah menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia pada masa lalu memiliki pengaruh besar di wilayah Asia
Tenggara. Terutama melalui kekuatan maritim di bawah Kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit. Tak heran, wilayah laut Indonesia dengan luas dua pertiga
Nusantara diwarnai banyak pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan
sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
menguasai lautan besar. Bahkan, mampu mengarungi samudra luas hingga ke
pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Penguasaan
lautan baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun
kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada
penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah
telah menunjukkan bangsa Indonesia mencintai laut, dan menjadi bagian
masyarakat bahari. Tetapi pada masa penjajahan kolonial, bangsa
Indonesia digiring hidup di daratan. Hal ini mengakibatkan menurunnya
jiwa bahari. Padahal, nenek moyang masyarakat Indonesia telah memahami
dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana yang menjamin
kepentingan bangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones).Pertama,
jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di
India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat
Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan
perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung
Malaka,
Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai
jaringan perdagangan Laut China Selatan. Keempat, jaringan perdagangan
Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao,
dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut
Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir
barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan
perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Selain
itu, banyak bukti pra sejarah di Pulau Muna, Seram dan Arguni yang
diperkirakan budaya manusia sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Bukti
sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula
peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang
didirikan perantau dari Nusantara di wilayah Madagaskar. Pengaruh dan
kekuasaan tersebut diperoleh bangsa Indonesia karena kemampuannya
membangun kapal dan armada yang mampu berlayar lebih dari 4.000 mil.
Dalam
strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah
Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah
banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur
kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari
yang besar. Sayang, setelah mencapai kejayaan, Indonesia terus mengalami
kemunduran. Terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial
Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada 1755 antara Belanda dengan
Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus
menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda.
Sejak
itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan
pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun,
budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia
sebagai negara kepulauan terus menginduksi, dan membentuk budaya maritim
bangsa Indonesia.
Catatan
penting sejarah maritim ini menunjukkan, dibandingkan negara-negara
tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan budaya
bahari secara alamiah. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan
berkurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan maritim.
Aspek Eknomi
Laut
Indonesia ditaksir menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieksploitasi
156 miliar dolar AS per tahun atau sekitar Rp 1.456 triliun. Walau
demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional dinilai masih
rendah. Pada 1998 sektor kelautan hanya menyumbang 20,06 persen
terhadap PDB, itupun sebagian besar atau 49,78 persen disumbang
subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Ini menunjukkan
bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar masih disiasiakan.
Berbeda dengan negara maritim lain, seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang
sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di
atas 30 persen terhadap PDB nasional mereka.
Sebagai
suatu negara dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan
kemajuan Indonesia akan makin bergantung pada perdagangan dan angkutan
laut dan ketersediaan energi, serta pada ekploitasi sumber daya laut dan
bawah laut serta membangun industri maritim yang tangguh. Karena itu,
sangat jelas Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar
di laut. Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut,
Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut
wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai
strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi.
Pertanyaannya
sekarang adalah, apakah Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
kepentingan masyarakat internasional? Rasanya masih jauh panggang dari
api. Jangankan memiliki kemampuan maritim yang memadai, usaha-usaha ke
arah itupun belum tampak jelas. Bahkan Indonesia belum secara tegas
menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum menetapkan National
Ocean Policy. Pada dasarnya ada tiga kepentingan nasional Indonesia di
laut.
Dari
sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih menghadapi
banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena
perkembangannya akan diikuti pembangunan dan pengembangan industri dan
jasa maritim lainnya masih dikuasai kapal niaga asing. Azas cabotage
seperti yang diamanatkan UU RI No. 17/2008 tentang Pelayaran masih perlu
diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi
adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan
kapal baru dihadang tidak adanya keringanan pajak, sulitnya kredit,
serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat
usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding.
Untuk
angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60
persen. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik
ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan,
karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost and Freight (CnF).
Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah
sekitar 10 persen, mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar dolar
AS.
Memperhatinkan
kondisi pelabuhan nasional yang belum tertata secara konseptual tentang
pelabuhan utama ekspor-impor dan pengumpan. Selain itu, keamanan dan
efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan
pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety (ISPS) Code.
Kecelakaan
laut yang menimpa angkutan antar pulau memakan korban jiwa besar masih
terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak
dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak layak laut.
Sisi
lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran,
sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan
bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang terbentang
seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk mengekploitasi wilayah
ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan
ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi
untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya. Hal ini disebabkan karena
kurangnya survey, researchdan sumber daya manusia di bidang maritim.
Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Illegal, Unregulated and Unreported fishing masih
terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat armada
perikanan nasional dan belum mampu mengawasi serta mengendalikan lautnya
secara optimal. Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal
ikan dengan kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini
terlihat besar, namun sesungguhnya merupakan estimasi minimal. Sebagai
perbandingan, Thailand memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan
konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar.
Dari
uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat jelas bahwa kekuatan
armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur
keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas
cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah
kebijakan fundamental untuk pembangunan eknomoi industri maritim karena multiplier effect-nya
sangat luas. Intinya, untuk membangun ekonomi atau industri maritim,
pemerintah harus segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak
untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana
diterapkan pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan
armada pelayaran niaga. Inpres V/2005 dan UU RI No 17/2008, tentang
Pelayaran telah mengatur masalah tersebut. Apabila hal ini diberikan
perhatian khusus dan sungguh-sungguh pemerintah, pembangunan industri
maritim akan menggeliat.
Aspek Keamanan
Kini,
sudah saatnya bangsa Indonesia membangkitkan kembali kesadaran bahwa
laut harus dipandang sebagai kesatuan wilayah, sumber kehidupan, media
perhubungan utama, wahana merebut pengaruh politik dan wilayah utama
penyanggah pertahanan.
Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan, memiliki empat dari sembilan Sea Lines of Communicationdunia
mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar menjamin
keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat
Malaka-Singapura, serta tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang
memadai. Apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut
yurisdiksinya.
Sepanjang
berkaitan dengan kebijakan pertahanan nasional, pada dasarnya Indonesia
adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi menguasai
negara atau wilayah bangsa lain. Tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau
yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan masih ada wilayah
perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah sengketa. Karena itu,
Indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi.
Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat
mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam
rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam
kepentingan menjaga keselamatan, keamanan dan pertahanan Negara di
laut, TNI AL sebagai tulang punggung upaya pertahanan dan keamanan di
laut masih belum memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan
penguasaan laut di bawah yurisdiksi nasional. Kasus Ambalat dan yang
terakhir, penangkapan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Kepulauan Riau oleh Polisi Laut Diraja Malaysia hanyalah beberapa
contoh, bagaimana resiko yang harus diterima bila Indonesia tidak
memiliki armada perang yang kuat dan kemampuan pengamanan laut yang
handal. Dari kebutuhan sekitar 300 kapal kombatan, TNI AL hanya memiliki
sekitar 130 kapal dengan komposisi dan kemampuan yang dirasa belum
memadai. Kekuatan TNI AL tertinggal dari negara-negara tetangga,
terutama dari sisi teknologi, karena masih mengandalkan kapal-kapal tua.
Thailand saja memiliki kapal induk, sedangkan kapal kombatan Indonesia
masih terbatas sampai jenis Korvet.
Pembangunan TNI AL seharusnya lebih bersifat outward looking,
yaitu berdasarkan kebutuhan pengendalian laut nasional sampai ke batas
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, bukan hanya untuk mendukung pertahanan
di darat. Perlu pula mempertimbangkan strategi pertahanan yang
bersifat deterrent dan denial.
Jika musuh bisa ditangkal dan dicegah di laut, kita tidak perlu
berperang di darat. Sebagai contoh, Singapura menganut doktrin
pertahananforward defence, yang jelas bersifat offensive. Selain itu, sesuai dengan UNCLOS 1982, kewenangan penegakan hukum di laut oleh kapal pemerintah atau government ship masih lemah karena tersebar pada beberapa instansi.Maritime security arrangement Indonesia perlu ditata kembali agar lebih efisien dengan membentuk Indonesian Sea and Coast Guard, sebagai single agency dengan multi task yang
memiliki kemampuan penegakan hukum di laut yang mumpuni, serta
memperkuat kemampuan dan posisi TNI-AL yang memiliki fungsi diplomasi,
polisional dan militer.
Kepentingan
mengamankan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi
Indonesia yang sangat luas membutuhkan sistem yang profesional, efektif
dan efisien. Contohnya, kewenangan menegakkan hukum di laut yang
ditangani 13 instansi. Untuk mencapai itu diperlukan strategi maritim
yang mencakup berbagai bidang.
Pakar hukum laut internasional, Prof Hasyim Djalal, menyatakan sudah sepatutnya Indonesia memiliki konsep negeara maritim (ocean policy).
Menurut Hasyim, konsep maritim yang dimaksud adalah negara mampu
memanfaatkan dan menjaga laut untuk mensejahterakan rakyatnya. “Tapi,
sayang kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negara belum
mampu memanfaatkan potensi sumberdaya laut,” kata Hasyim.
“Secara
hukum internasional dan Undang-undang, memang Indonesia sebagai negara
kepulauan. Tapi, belum maksimal memanfaatkan kekayaan yang ada di laut.
Maka itu diperlukan konsep strategi negara maritim yang tangguh dan
berdaulat,” tambah Hasyim.
Menurut
tokoh maritim ini, negara maritim adalah negara yang mampu
memanfaatkan dan menjaga lautnya. “Banyak negara kepulauan tapi bukan
negara maritim, ada negara yang lautnya sedikit tapi memiliki predikat
negara maritim,” ungkapnya. Hasyim memberi contoh seperti China dan
Amerika. “Ada juga negara yang tidak memiliki laut tapi menguasai laut,
seperti Belanda menjajah Indonesia 350 tahun karena mereka mampu
menguasai laut,” terangnya.
Hasyim
juga menyoroti kebijakan pemerintah yang kurang serius terhadap
perkembangan isu laut. Menurutnya, perhatian pemerintah masih rendah,
padahal Indonesia sebagai negara kepulauan. “Perhatian pemerintah
terhadap laut masih rendah. Padahal, kita ini negara kepulauan
terbesar,” tukasnya.
Hasyim
menilai pemimpin bangsa kurang memaknai perjuangan Djuanda atau yang
dikenal Deklarasi Djuanda 1957. Menurut Hasyim, secara visi Deklarasi
Djuanda bagus. Tapi, keresapan kejiwaan itu yang sejak dulu sudah pahit
sampai sekarang ada gejala sudah tidak baik.
Prof
Dr Hasjim Djalal: Pikirkan Indonesia 50 Tahun ke Depan oleh Menurutnya
Deklarasi Djuanda ide pokoknya mempersatukan Nusantara, tidak melihat
laut Jawa, Sulawesi, Maluku sebagai laut bebas. Tidak mudah
memperjuangkan itu. Seluruh dunia ketika itu memprotes. Tapi beliau
melihat itu sebagai salah satu yang harus diperjuangkan dengan sabar,
dan bertahun tahun. Itu dari sisi kesatuan bangsa. Deklarasi Djuanda
pada dasarnya memperluas kekayaan alam Indonesia untuk keperluan bangsa
Indonesia, tuturnya. sjim Djalal: Pikirkan Indonesia 50 Tahun ke Depan.
“Coba
kita pikirkan. Setelah 50 tahun Deklarasi Djuanda, ke mana bangsa kita
mau pergi. Pada tahun 1957 penduduk Indonesia masih sekitar 80 juta
jiwa, sekarang 240 juta jiwa. Untuk 50 tahun yang akan datang ke mana
mau kita bawa lagi bangsa ini. Djuanda dulu membawanya kepada Kesatuan
Nusantara,” ujarnya.
Hasyim
juga menyarankan kepada pemerintah untuk memikirkan masa depan bangsa
untuk 50 tahun yang akan datang. Selama ini, pemerintah hanya memikirkan
jangka pendek saja. “Pemerintah sudah harus memikirkan program jangka
panjang. Bangsa ini mau di bawah kemana. Jangan 5 tahun saja pada
pemilu,” imbuhnya.
Sementara,
pengamat Pertahanan dari LIPI, Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan
tantangan Indonesia sebagai negara kepulauan di era gelobalisasi.
Menurutnya, defenisi pertahanan dan kemanan maritim sejauh ini belum ada
yang defentif. Seperti misalnya defenisi PBB dan ASEAN Maritime Forum.
“Untuk
mengatisipasi perkembangan globalisasi, sebagai negara kepulauan,
Indonesia memerlukan sebuah strategi maritim dalam bentuk Ocean Policy,
yang hingga saat ini belum tuntas” ujar dia.
Dekan
Fakultan Ilmu Perikanan dan Kelautan (FIPK) Institut Pertanian Bogor,
Prof Indra Jaya, menambahkan, salah satu kekurangan bangsa ini sebagai
negara kepulauan adalah dibidang sains dan teknologi. Indonesia memang
negara yang luas. Untuk menjadi Negara Maritim, ada tiga bidang yang
bisa mewujudkan menjadi Negara Maritim, pertama adalah sumber kehidupan,
perdagangan dan kekuatan laut. “Ada tiga bidang yang bisa diwujudkan
untuk negara maritim yaitu sumber kehidupan, pedagangan dan kekuatan
laut,” terangnya.
Tempat terpisah, pakar keamanan Negara maritim, Laksa TNI Purnawirawan, Robert Mangindaan dalam tulisannya di Quarterdeck yang diterima oleh Indonesia Maritime Magazine, bahwa agenda Securty Sector Reform
tidak membawa kepentingan pihak-pihak lain yang tujuannya adalah
mengkerdilkan ‘otot’ militer Indonesia, yang sebetulnya sudah sedemikian
‘kerdil’.
“Banyak
pakar mengatakan bahwa milenium ketiga adalah era pasifik, dan
pandangan tersebut disikapi oleh negara-negara kawasan dengan memperkuat
‘otot’ militernya. Padahal, dengan usainya perang dunia dan menguatnya
keinginan masyarakat internasional untuk mewujudkan dunia yang aman,
damai dan stabil, sepertinya tidak mudah direalisasikan, sekalipun sudah
menjadi acuan bersama, mislanya Agenda for peace yang gencar dipromosikan oleh PBB,” kata Robert dalam tulisannya mengenai Sketsa Situasi Kemanan Maritim.
Robert
melaanjutkan bahwa perlu diakui benar adanya perampingan struktur
kekuatan militer berlangsung di kawasan Asia Pasifik, akan tetapi pada
prakteknya adagium civis pacem parabellum,
justru diterapkan secara utuh. Malah ada pihak yang menaikan belanja
pertahanan secara signifikan, mislanya China dengan budget 33 miliar
dolar AS begitu pula dengan Amerika Serikat yang secara tegas mengatakan
peningkatan anggaran belanja pertahanan setiap tahunnya.
Belakangan ini , ada beberapa inisiatif yang gencar dikembangkan di kawasan ini, yaitu Regional Maritime Security Initiatives (RMSI), Proliferation Security Initiatives (PSI), ada pula Maritime Securtiy Oprations (MSO) dan Pasifik Defense.
Tujuannya adalah mengenai kemanan maritim kawasan untuk menghadapi
berbagai ancaman, terutama menyangkut mencegah proliferasi senjata
pemusnah massal, maritime terrorism, dan pula menjangkau searobbery and piracy.
“Dari perspektif Indonesia, critical uncertaintes yang
perlu diperhatikan iahlah semua bentuk oprasi yang berkaitan dengan
beberapa hal yaitu pertama upaya internasional untuk mengamankan choke points, kedua humanitarian assistance yang mengarah pada daerah-daerah yang bermaslah, ketiga provokasi untuk ‘mendatangkan’peacekeeping opration,
yang sangat mungkin erat terkait dengan intra-state conflic. Semua
bentuk opprasi tersebut, nantinyaq akan sama artinya dengan memberikan
akses kepada kekuatan luar (yang lebih superior) untuk masuk ke
daerah-daerah yang defense mechanism-nya belum mapan,” tegasnya.
Masih dijelaskan oleh Robert, bahawa masalah kemanan maritim yang akan dihadapi ke depan, masih akan berkisar pada sea
robbery and piracy, illegal fishing, trans-national trheat, illicit
trafficking of weapon of mass destruction and related materials, pelanggaran wilayah, lalu lintas di laut yang terkait dengan gerakan separatis dan sangat mungkin ancaman maritime terrorism.
Diperkirkan pula bahwa ancaman tersebut akan semakin meningkatr yang
diukur dari intensitas, penggunan teknologi maju dan pengembangan modus
operandi.
“Karena Indonesia berada di wilayah ring of fire,
dan tiga patahan benua, yaitu Eurasia, Australia dan Pasifik Barat,
maka ancaman benca alam patut dihindari dan diantisifasi. Tidak hanya
itu penyelanggaran kemanan maritim, perlu bekerjasama dengan pihak-pihak
lain dengan berpegangan pada beberapa hal, yaitu wadah yang tepat,
saling menguntungkan, ada kesungguhan. Kesannya memang sederhana sekali,
akan tetapi justru di sana ada titik terangnya,” beberanya.