Kisruh antara PSSI dan KPSI masih terus memanas, bahkan akan memasuki babak baru. Petinggi KPSI, La Nyalla Mattalitti, menyatakan bahwa pihaknya akan membentuk Timnas Indonesia tandingan yang disiapkan untuk berlaga di AFF Cup 2012.
“Saya
telah memerintahkan kepada Sekretaris Jenderal PSSI Joko Driyono untuk
membentuk timnas dalam rangka menghadapi Piala AFF 2012,” tandas La
Nyalla Mattaliti di Jakarta Minggu (5/8/2012) petang.
Wacana untuk membentuk timnas tandingan kembali mengemuka setelah beberapa pemain ISL bergabung dengan skuad Merah-Putih bentukan PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin yang dibesut oleh Nil Maizar.
Di
lain pihak, KPSI menginginkan agar pembentukan timnas harus dilakukan
melalui persetujuan Komite Gabungan atau Joint Committee (JC), dan bukan
lagi menjadi wewenang Djohar Arifin Husin dan PSSI yang dipimpinnya.
“Saya
berkeinginan yang berhak membentuk timnas itu Joint Committee, bukan
PSSI versi Djohar Arifin. Kalau membentuk timnas sendiri, itu namanya
bukan timnas!” tukas La Nyalla Mattalitti.
La
Nyalla Mattalitti menambahkan, dirinya memperbolehkan pemain ISL
membela Timnas Indonesia, namun atas persetujuan Komite Gabungan, bukan
timnas bentukan PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin.
“Saya
tidak mengizinkan apapun yang dilakukan oleh Djohar (Arifin Husin),
pemain ISL boleh ikut timnas yang dibentuk oleh JC, kalau di luar JC
tidak!” pungkasnya.
=============================
.
Benar benar situasinya sudah
sangat kritis bagi KPSI, menghadapi Joint Committee yang tidak pernah
jalan mengikuti skenario yang sudah disiapkan KPSI, Djoko Driyono yang
selalu jadi ujung tombak maju perang menghadapi peperangan yang mereka
ciptakan sendiri.
Djoko Driyono jadi serba salah,
menempati posisi di garda depan dalam menegosiasi perundingan dengan
menggunakan cara dan komunikasi serta diplomasi yang secanggih apapun
akan menemui jalan buntu yang di ciptakan Para Tuan KPSI yang
menggerecokinya.
Tinggal Joko Driyono yang masih
diandalkan sebagai ujung tombak di ujung peperangan yang seharusnya
mengedepankan dialogue menjadi berantakan, karena ketidak sabaran
sementara kelompoknya yang ada di belakang.
Apalagi di tengerai Djamal Aziz, yang
melarikan diri dari JC, dengan alasan yang mengada ada, memberati kerja
di DPR yang tentu nilai bobot politiknya, jauh di bawah kedudukannya
dia sebagai Wakil ketua Joint Committee, dimana PSSI merupakan
organisasi yang sangat besar yang menyangkut berjuta juta pemerhati dan
penggemar sepakbola di tanah air.
Apakah Djamal Aziz tak tahu bahwa
demikian besarnya PSSI dan pengaruhnya, yang menjadi ajang perebutan
bagi kekuatan politik di tanah air. Tentu Djamal Aziz tahu itu, maka
sungguh aneh dan tak masuk akal, dirinya mengabaikan Joint Committee
yang nota bene merupakan posisi yang strategis dalam merebut posisi
dalam konstelasi politik nasional masa depan.
Maka jawaban satu satunya,
menurut Djamal Aziz, justru karena sudah tak ada lagi peluang untuk
memperoleh kesempatan disana, penciuman opportunistnya tidak membaui
aroma keberhasilan.
Djoko Driyono sejak awal ada bersama
ISL dan Klub2 yang konsennya adalah memperoleh kesempatan untuk tetap
menjadi bahagian dari pengelolaan Klub dan kompetisi liga. Djoko tak
pernah mepertaruhkan dirinya ada didalam kepengurusan PSSI, dirinya tak
merasa ada aroma bisnis di PSSI, apalagi merecoki kerja PSSI sebagai
lembaga legal formal yang menaungi kegiatan sepakbola di Indonesia.
Pemahaman Djoko tersebut dapat
kita tengerai dengan kesediaannya bertemu dan bekerjasama dengan PSSI
dan diplomasi yang dia lakukan telah menghasilkan perjanjian
penyelesaian kekisruhan dengan mebuahkan MOU Kuala lumpur.
MOU Kualalumpur adalah lembaga
formal yang sedemikian sehingga, bisa menjadi pintu KPSI bertemu dan
berdialogue dengan PSSI sekaligus dengan FIFA/AFC secara langsung.
MOU kuala Lumpur inilah yang kemudian menjadi induk dari penyelesaian 5 isu masalah yang harus di selesaikan, Djoko Driyono sukses memasukkan isu dalam agenda penyelesaian yang di hadapi oleh KPSI, beberapa item merupakan masalah2 KPSI,
tentang materi penyelesaiannya tentu bukan Djoko lagi yang harus
menyelesaikannya, Djoko hanya akan menyelesaikan masalah yang
menyangkut tentang Kompetisi Liga ISL dan PT LI serta Klub2 yang harus
semaksimal mungkin dia pertahankan, agar tetap ikut dan resmi dalam
jalur PSSI/AFC/FIFA.
Tentu Djoko Driyono hanya konsen kepada
tanggung jawabnya menjadikan ISL dan Klub tetap ada dalam jalur bisnis
yang menguntungkan, tetap solid dan berjalan bersaing merebut kue
pembangunan sepakbola Indonesia. Diluar bisnis, tentu bukan konsen
djoko driyono untuk memperjuangkannya, KPSI harus menyelesaikannya
melalui Djamal Aziz yang di tunjuk oleh KPSI untuk mewakili diri
mereka.
Tentu dalam setiap perundingan, ada
yang berhasil dan tentu ada juga yang harus di ikhlaskan, dari 5
perkara itu, sudah wajar kalau memperoleh hasil kesepakatan yang
optimal, tidak bisa memperoleh hasil maksimal dan sesuai dengan target
kubunya. Mesti harus ada yang terkorbankan, Jer basuki mowo
beyo, keberhasilan mesti ada pengorbanannya, dan Djoko Driyono tahu itu
dan merupakan kerangka win win solution dalam perundingan
TimNas merupakan
pengejawantahan kehendak rakyat yang sekarang sudah berjalan dan
menemui titik cerah rekonsiliasi antara pemain dan masyarakat,
telah menemukan kata sepakat semua pihak untuk tetap mengedepankan
kepentingan TimNas sebagai perwujudan kepentingan Bangsa dan Negara,
sesuai dengan yang di kemukakan oleh BePe dan Ponaryo astaman, sebagai
wakil dari tekad dan kehendak seluruh pemain profesional di bawah APPI,
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya memenuhi panggilan menjadi
anggota TimNas.
Pemain dan APPI adalah bahagian
yang tak terpisahkan dengan PSSI/AFC/FIFA, karena keterikatan
profesionalitasnya sebagai pemain di dunia sepakbola international,
perlu juga di pahami bahwa APPI berafiliasi kepada FIFPro, yang
merupakan organisasi international Pemain sepakbola profesional di
Dunia. Keberadaan pemain2 Profesional dibawah APPI merupakan anggota
masif dari FIF Pro.
Berlawanan dengan Pemain Profesional
dibawah APPI, akan berakibat bertentangan dengan FIFPro, yang merupakan
organisasi resmi berafiliasi kepada FIFA/AFC/PSSI. Legalitas dan
formalitas Federasi adalah mutlak dan merupakan ketentuan yang harus
dilakukan oleh mereka. Kepihakan mereka bukan kepada kelompok atau golongan, kepihakan mereka kepada ikatan profesional dan organisasinya .
Pemahaman KPSI yang merasa telah
menguasai pemain melalui Klub dan kontraknya adalah sangat lemah dan
kontroversi. Merasa menguasai pemain profesional adalah angan2 yang tak
ada kenyataannya, hanyalah mimpi dialam fatamorgana. Ikatan Pemain
kepada Klub merupakan ikatan profesionalitas bukan ikatan
karyawan/buruh dengan perusahaan seperti yang diatur dalam uu tenaga
kerja, tentu dengan rumusan UMR/UMP nya. pemahaman sederhana itu sangat
naif dan menyesatkan.
Tekad APPI untuk mendukung dan
bersedia menjadi TimNas menghadapi AFF, adalah keputusan yang mendasar
dan berdasar hukum yang kuat, sebagai profesional yang mentaati
posisinya sebgai pemain sepakbola profesional International. Apabila ada
anggotanya yang tak mentaati, maka otomatis akan keluar dari APPI dan
sekaligus keluar jalur peofesionalnya, menjadi pemain amatir kembali.
Pemain membutuhkan agen, promotor, ijin, International Transfer
Certificate dan banyak lagi ketentuan yang ada, sebagai komitmennya
menjadi anggota FIF Pro.
KPSI sebagai lembaga yang sudah
dinyatakan sebagai lembaga yang tak berwenang dalam pegelolaan
sepakbola di Indonesia seperti yag telah dinyatakan dalam MOU
Kualalumpur yang juga sudah mereka tanda tangani, merupakan status
legal yang tak terbantahkan, mau dibawa kemanapun KPSI sudah tak
mempunyai kekuatan hukum apapun di kancah sepakbola di Indonesia.
Maka tak ada kata lain hanya akan
menjadi bulan bulanan legalitas dan formalitas yang berjalan tanpa
wajah dan wujud yang nyata. Tak ada dan tak terlihat tetapi terasa dan
keras di tembusnya. Begitulah karakter legal formal. sesuatu yang
sangat kuat dan masif tak tertembus tetapi tak terlihat dimana wajah
dan tangannya bekerja.
Semakin melawan keadaan yang ada, akan semakin menyakitkan dan membawa diri kejurang kenistaan.
.
Merdeka ! Merdeka ! Merdeka !
.
Jakarta 6 Agustus 2012
.